Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini,
salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini,
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda
tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan
untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman,
biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya
tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi
merantau, maka ia akan
selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.Hal inilah
yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita
Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami,
tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua
tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa
merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.Semangat untuk mengubah
nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan
Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah
paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Salah satu motif tenun songket Minangkabau
khas nagari Pandai Sikek.
Faktor ekonomi
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Pedagang Minangkabau
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk
yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah.
Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup
dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi
penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu
adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi
merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah
rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang
dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat
Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama
untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara
geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng,
merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.Sehingga
julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India
sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah
melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas
dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja
di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16
menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico
(Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau.
Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir
timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi
salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai
pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja
Pagaruyung.Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari
laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan
dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan
raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang
emas.
Sementara itu dari catatan para geologi
Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas
dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai
para pendulang emas. Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman
Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia
tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui
pesisir barat Sumatera.
Faktor perang
!Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Perang Padri dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin
Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers.
Beberapa peperangan juga menimbulkan
gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik,
setelah Perang Padri,[27] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa
Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh (Perang Belasting) menentang
Belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan muncul
PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau
ke daerah lain.Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan
karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan
melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih
memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan
cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari
Pagaruyung.Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara
mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang
melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak
mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga
melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan
masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu
percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri,
penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan
perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia
menyulutkan api untuk rokok tersebut.
Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat
Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni,
terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang
pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan
perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga
bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung,
ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya
sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan
Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam
novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang
dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan
perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang
berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A
Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak
di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang
tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang
yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang
juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
sumber: http://papaboim.blogspot.com
0 Komen